Assalamualaikum rekan berbahasa! Pada kesempatan kali ini admin akan membahas tentang Analisis Sosiologis Cerpen BERTANYA KERBAU PADA PEDATI Karya AA Navis. Dalam artikel kali ini ada beberapa hal yang akan dibahas secara mendalam yaitu, Penentuan Latar Cerpen, Penentuan Peran dan Hubungan Antar Peran, Permasalahan Cerpen Secara Normatif, Permasalahan Cerpen Secara Fiktif, Permasalahan Cerpen Secara Objektif, dan Interpretasi Data. Langsung saja simak bahasan di bawah ini! Selamat membaca!
PENENTUAN LATAR
Cerpen “Bertanya Kerbau pada Pedati” mengungkapkan kehidupan masyarakat di sebuah daerah di Minangkabau pada masa penjajahan, sebelum Indonesia merdeka. Ada beberapa petunjuk dari data-data struktur cerpen ini tentang hal itu, seperti kutipan berikut.
“Waktu itu masa perang kemerdekaan. Ayahku membuka warung sebagai pengganti lapangan hidup yang selama ini tidak menolong lagi”.
“Pada perang kemerdekaan pedati menjadi alat transpor yang vital. Tentu saja bukan untuk mengangkut orang, apalagi pasukan yang akan berangkat ke front. Melainkan barang-barang perdagangan.”
“Sejak zaman pendudukan Jepang, jalan-jalan di kotaku sudah terbiasa bergelap-gelap dimalam hari, karena listrik tidak dinyalakan di tiang-tiangnya…”
Kata-kata yang menunjukkan indikasi masa penjajahan itu adalah masa perang kemerdekaan dan zaman pendudukan Jepang karena pada masa penjajahan sebelum Indonesia merdeka lah sebuah daerah dapat diduduki oleh penjajah. Perang kemerdekaan yang dimaksud pengaranng yaitu pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1940-an. Dengan penyebutan perang kemerdekaan dalam cerpen ini, terlihatlah pengarang ingin mengungkapkan suatu permasalahan masyarakat Minangkabau pada masa perang kemerdekaan.
Permasalahan masyarakat Minangkabau masa perang kemerdekaan ini dibatasi pengarang terhadap masyarakat Minangkabau pada sebuah kota. Indikasi itu terlihat dengan pengambilan latar kota tempat tokoh Aku tinggal, yang merupakan kota penghujan. Namun demikian, bukan berarti latar cerpen tersebut hanya di kota tempat tokoh Aku tinggal tetapi juga terlihat pengambilan latar pada daerah pesisir dan Lembah Anai. Pada perang kemerdekaan pedati menjadi alat transportasi yang vital dan banyak digunakan. Tentu saja bukan untuk mengangkut orang, apalagi pasukan yang akan berangkat ke front. Melainkan barang-barang perdagangan. Para tukang pedati memanfaatkan tenaga kerbau untuk menarik pedati mereka yang membutuhkan perjalanan pulang pergi sampai 3 hari. Muatan beban yang dibawa kerbau itu sangat berat dan akan terasa berganda di jalan pendakian.
Melalui latar tempat dan waktu dalam cerpen ini dapat disimpulkan untuk sementara bahwa cerpen “Bertanya Kerbau pada Pedati” berbicara tentang perubahan sistem sosial budaya masyarakat Minangkabau yang memanfaatkan tenaga binatang secara berlebihan. Perilaku tokoh cerpen dan kaitannya dengan data-data realitas objektif harus diselidiki untuk mendapatkan data-data sebagai bukti selanjutnya.
PENENTUAN PERAN DAN HUBUNGAN ANTAR PERAN
Sosok pribadi dalam masyarakat Minangkabau tidak hanya memerankan satu peran dalam kehidupannya. Sosok pribadi itu selalu memerankan peran ganda, misalnya di samping peran sebagai pedagang bisa juga berperan sebagai anak, teman, anggota masyarakat, dan lain-lain. Karya sastra sebagai pencerminan tatanan kehidupan masyarakat, akan mengetengahkan berbagai peran yang diperankan tokoh cerita. Tidak ada dalam cerita fiksi seorang tokoh cerita hanya memerankan satu peran saja. Pengarang akan memberikan berbagai peran terhadap tokoh-tokoh ceritanya.
Dalam cerpen “Bertanya Kerbau pada Pedati”, seorang tokoh minimal memerankan dua peran. Tokoh Aku, misalnya, memerankan peran anak, pedagang, penduduk kota. Demikian juga tokoh lainnya seperti tokoh ayah memerankan peran seorang ayah, suami, penduduk kota, dan pemilik warung. Tokoh Tukang Pedati memerankan peran suami, pedagang, dan penduduk pesisir.
Dengan demikian, sebuah peran dapat saja diperankan oleh beberapa tokoh sekaligus. Dalam hal penyelidikan permasalahan haruslah dilihat dari sudut peran dan bukan dari sudut tokoh. Permasalahan akan terlihat jika peran yang satu dihubungkan dengan peran yang lain. Beberapa peran yang diperankan tokoh-tokoh cerita tersebut dapat dihubungkan atau dikelompokkan menjadi (a) suami dan istri, (b) anak dan orang tua (ayah dan ibu), (c) majikan dan hewan ternak.
Pengelompokan hubungan peran-peran tersebut sekaligus dapat dipandang sebagai topik-topik yang dibicarakan pengarang dalam karyanya. Topik-topik ini membantu peneliti untuk menelusuri lebih jauh permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam karya sastra. Berdasarkan data-data hubungan peran di atas, stidaknya tergambar permasalahan yang disinggung pengarang. Topik yang mendukung dan mendominasi cerpen tersebut yaitu hubungan antara majikan dan hewan peliharaanya yaitu antara tukang pedati dengan kerbau. Dengan demikian, hubungan antara tukang pedati-kerbau inilah terletak permasalahan utama cerpen “Bertanya Kerbau pada Pedati”.
PERMASALAHAN CERPEN SECARA NORMATIF
Dalam sistem sosial budaya masyarakat, majikan orang yang menjadi atasan yang berkuasa memerintah bawahannya. Hewan ternak merupakan hewan peliharaan yang dibiakkan dengan tujuan produksi. Hewan ternak dirawat dan dibesarkan biasanya memiliki beberapa tujuan, seperti untuk dikembangbiakkan, dijual, dimakan, dan sebagainya. Hewan ternak biasanya dimanfaatkan dagingnya, susunya, dan tenaganya. Orang yang merawat hewan ternak biasanya disebut peternak.
Antara majikan-hewan ternak mempuyai hubungan timbal balik dan saling mengutungkan satu sama lain. Majikan beperan sebagai atasan atau pemilik hewan tenak yang dipeliharanya dan dimanfaatkan natinya. Sebagai pemilik hewan ternak, majikan biasanya mengurus dan merawat hewan ternaknya dengan baik. Ada hewan ternak yang bisa dimanfaatkan tenaganya seperti kuda,sapi, dan kerbau. Memanfaatkan tenaga hewan ternak atau binatang ini biasanya disebut dengan “mempekerjakan binatang”. Manusia biasanya mempekerjakan hewan untuk kesehatan (vaksin, sebagai kelinci percobaan), untuk pertunjukan, alat transportasi, hiburan (seperti burung kakaktua), keamanan (seperti anjing).
Dalam mempekerjakan hewan, majikan selain memanfaatkan tenaganya hendaknya juga hendak memenuhi kebutuhan hidup hewan tersebut karena hewan juga makhluk hidup. Sebagai majikan harus mempunyai rasa kasihan, harus menjaga kesehatan hewan tersebut, dan kesejahteraan hewan tersebut (kandangnya, temperaturnya, dan sebagainya). Sebagai manusia yang mempunyai rasa iba, merawat dan memelihara binatang hendaknya dilakukan dengan baik, bukan malah menganiayanya. Hubungan manusia dengan hewan tersebut tertuang dalam sebuah hadist berikut ini.
“Islam mengajarkan untuk menyayangi manusia dan hewan, segala bentuk penyiksaan terhadap hewan itu diharamkan.”
Dari ketentuan itu jelaslah bahwa hewan peliharaan dirawat dan dibesarkan oleh majikannya. Sebagai seorang majikan yang akan memanfaatkan tenaga dari hewan peliharaan hendaknya dapat merawat dan memenuhi kebutuhan hewan peliharaan dengan baik. Dapat saja seorang majikan mempekerjakan hewan peliharaannya untuk memanfaatkan tenaganya, tetapi tidak boleh memforsir tenaga hewan tersebut secara berlebihan.
Demikianlah pengaturan hubungan majikan dan hewan peliharaan menurut sistem sosial budaya masyarakat. Antara majikan dan hewan peliharaan terdapat hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan, tanpa harus menyakiti dan menyiksa hewan peliharaan.
PERMASALAHAN CERPEN SECARA FIKTIF
Dalam cerpen “Bertanya Kerbau pada Pedati” tokoh majikan yang berperan sebagai tukang pedati. Ia berperan dalam hubungannya dengan tokoh kerbau. Pertemuan tukang pedati dengan kerbau menghadirkan masalah hubungan majikan dengan hewan peliharaannya.
Dalam cerpen “Bertanya Kerbau pada Pedati”, pedati menjadi alat transpor yang vital. Binatang yang menarik pedati pada cerpen ini yaitu seekor kerbau. Pedati digunakan bukan untuk mengangkut orang, melainkan mengangkut barang-barang perdagangan, seperti sayur, minyak goreng, sabun, atau daun rumbia dan lain-lain. Pedati itu umumnya dimiliki oleh penduduk pesisir. Dari pesisir ke kota pedati membawa barang-barang perdagangan, dan pulang pun pedati itu juga berisi bahan-bahan yang telah dipesan orang, seperti tertera dalam kutipan berikut.
“Dari kotaku orang mengangkut sayuran, kapur tembok, tadir bambu untuk dinding rumah. Jadi pulang pergi pedati itu selalu berisi. Semuanya bahan-bahan yang telah dipesan langganan di kedua tempat yang dikunjunginya”.
Jalan pedati lamban sekali. Jarak antara tempat asalnya dengan kota tujuan ditempuh dalam sehari semalam. Mereka biasanya berjalan beriringan antara 10 sampai 20 pedati dengan cara berkonvoi. Dari pesisir ke kota jalannya mendaki. Tukang pedati mengiring pedatinya dengan ekstra berat. Karena perjalanan yang membutuhkan waktu sampai 3 hari, tukang pedati ada kalanya membawa istri mereka. Yang mereka bawa biasanya istri muda yang baru dinikahi. Jika istri ikut, biasanya pedati dihiasi dengan kain gorden yang bewarna norak. Dalam perjalanan biasanya mereka akan beristirahat di sebuah warung, seperti tertera dalam kutipan berikut.
“Di tempat perhentian yang berjarak 3 atau 4 jam perjalanan kerbau dilepaskan dari kelarnya untuk makan dan memamah biak. Terutama di waktu matahari terik masa istirahatnya lebih panjang.”
Setiap konvoi, kerbau pedati akan terberak-berak dan terkencing-kencing di depan warung. Kepalanya tak terangkat, moncongnya hampir menyentuh aspal. Napasnya mendengus memanjati pendakian yang panjang. Jika kerbau itu tertegak setelah keluar beraknya, tukang pedati segera menarik tali ijuk didekat hidung kerbau. Mungkin karena rasa sakit itu kerbau tersebut langsung melanjutkan perjalanan. Kerbau itu terus berjalan setelah dipukul pantatnya. Jika tukang pedati itu mempunyai perasaan kemanusiaan, ia tak perlu berbuat sampai menyiksa kerbau tersebut, seperti tertera dalam kutipan berikut.
“Sehingga kepala kerbau itu kian terpekur dan mulutnya nyaris menyentuh jalan aspal. Busa dari mulutnya sampai berjatuhan. Dan dengusannya menyentak-nyentak sampai ke jantungku. Sedang pemiliknya, melecut pantat kerbau itu terus-menerus dengan rasa berang.
Padahal kalau tukang pedati itu mempunyai perasaan kemanusiaan, sedikit saja sudah cukup, ia tak perlu sampai menyiksa sedemikian rupa. Ia turunkan saja drum minyak kelapa di emperan ke belakang, segalanya akan beres. Tapi ia lebih suka menyiksa binatang yang bodoh itu daripada payah-payah membongkar drum yang berisi minyak kelapa itu.”
Dari gambaran beberapa kutipan cerpen di atas, terlihat ketidakharmonisan hubungan tukang pedati dengan kerbau. Ketidakharmonisan tersebut tampak dari sikap dan perbuatan tukang pedati terhadap kerbau. Tukang pedati mempekerjakan kerbau berlebihan tanpa rasa iba. Ia menaiikkan segala beban berat ke atas pedatinya. Ia tidak memanfaatkan pedati sesuai dengan kemampuan tenaga kerbau tersebut. Ketika di tempat peristirahatan pun tukang pedati juga tidak memberikan waktu yang cukup untuk kerbau beristirahat. Setelah beristirahat pun kerbau tersebut juga ditarik tali hidungnya dan dipecut pantatnya dengan rasa berang. Padahal jika tukang pedati tersebut memiliki rasa iba dan kasihan tidak perlu melakukan hal tersebut. Tukang pedati itu suka menyiksa kerbau tersebut tanpa mengingat usaha kerbau tersebut membantunya.
PERMASALAHAN CERPEN SECARA OBJEKTIF
Untuk mendapatkan data-data objektif perlu dilakukan observasi lapangan dan menggali dari beberapa sumber terhadap perilaku dan kebiasaan masyarakat Minangkabau. Hasil observasi langsung yang dilakukan menyatakan bahwa hubungan majikan dengan hewan peliharaan yang tidak harmonis lebih dominan di dalam masyarakat dibanding hubungan yang harmonis antara majikan dengan hewan peliharaannya.
Data-data yang didapatkan dari hasil observasi dalam kehidupan sosial masyarakat di Minangkabau menunjukkan hubungan yang kurang harmonis. Walaupun kenyataan menunjukkan demikian, dalam pribadi anggota masyarakat Minangkabau masih tersimpan rasa kemanusiaan, rasa iba dan kasihan terhadap hewan apalagi hewan peliharaan yang dimanfaatkannya.
Penyebab terdapatnya hubungan yang tidak harmonis antara majikan dengan hewan peliharaan biasanya didasari oleh beberapa alasan, yaitu (1) kurangnya rasa kemanusiaan dan rasa kasihan dan iba terhadap hewan, (2) manusia atau majikan tersebut merasa dirinya paling benar dan paling mulia karena dirinya manusia, dan (3) seekor hewan yang dimanfaatkan ataupun dianiaya tidak dapat memberontak ataupun membalas perbuatan manusia terhadap mereka.
Dari observasi yang dilakukan dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau didapat tiga hal yang dapat mempertahankan hubungan harmonis antara majikan dengan hewan peliharaanya, yaitu (1) mempunyai rasa kemanusiaan dan rasa iba serta rasa kasihan terhadap sesama makhluk hidup, (2) sebagai manusia harus menyayangi hewan karena hewan juga makhluk hidup dan makhluk ciptaan Tuhan, dan (3) sebagai manusia tidak boleh merasa sebagai makhluk yang paling sempurna dan terbaik karena tidak ada makhluk yang sempurna.
INTERPRETASI DATA
Sebuah karya sastra dapat dipandang sebagai jembatan dunia normatif dengan dunia objektif. Karyasastra harus menggambarkan idealisme masyarakatnya, sekaligus mengungkapkan gambaran realitas sosial masyarakatnya. Cerpen “Bertanya Kerbau pada Pedati” ditinjau dari kacamata ini, memenuhi kriteria itu. Idealisme masyarakat Minagkabau tentang hubungan majikan dan hewan peliharaan harus berlangsung secara harmonis, ada hubungan timbal balik, keseimbangan antara kewajiban majikan dengan tugas hewan peliharaan. Pencerminan idealisme masyarakat Minangkabau dapat ditemukan dalam cerpen “Bertanya Kerbau pada Pedati” walaupun hubungan harmonisnya hanya sebentar yang terlihat melalui hubungan majikan dengan hewan peliharaan, yaitu tukang pedati sebagai majikan dan kerbau sebagai hewan peliharaan. Namun keharmonisan dalam cerpen ini tidak mendominasi cerita antara majikan dengan hewan peliharaannya. Dominasi penceritaan menyangkut hubungan yang tidak harmonis antara majikan dengan hewan peliharaanya ketika tukang pedati memanfaatkan tenaga kerbau sebagai hewan peliharaannya. Sungguhpun begitu ternyata ketidakharmonisan hubungan majikan dengan hewan peliharaannya berkaitan dengan realitas objektif.
SIMPULAN
Berdasarkan data-data yang dipaparkan dan data yang didapat dari hasil observasi dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau dewasa ini, dapat disimpulkan bahwa tingkat kerelevanan antara cerpen “Bertanya Kerbau pada Pedati” dengan realitas sosial budaya masyarakat Minangkabau sangat tinggi, baik secara idealisme maupun secra realitas objektif. Simpulan ini mengarahkan rekomendasi penilaian bahwa cerpen “Bertanya Kerbau pada Pedati” merupakan cerpen yang berhasil mengungkapkan realitas sosial masyarakat Minangkabau saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar