Assalamualaikum rekan berbahasa! Pada kesempatan kali ini admin akan membahas tentang Analisis Sosiologis Cerpen INYIK LUNAK SI TUKANG CANANG Karya AA Navis. Dalam artikel kali ini ada beberapa hal yang akan dibahas secara mendalam yaitu, Pengertian Cerpen, Penentuan Latar Cerpen, Penentuan Peran dan Hubungan Antar Peran, Permasalahan Cerpen Secara Normatif, Permasalahan Cerpen Secara Fiktif. Langsung saja simak bahasan di bawah ini! Selamat membaca!
PENENTUAN LATAR
PENENTUAN LATAR
Cerpen Inyik Lunak Si Tukang Canang mengungkapkan kehidupan masyarakat suatu kampung di daerah Minangkabau pada masa PRRI. Ada beberapa petunjuk dari data-data struktur cerpen ini tentang hal itu, seperti kutipan berikut.
“Pada masa PRRI, Otang, teman Si Dali, pulang kampung. Seperti banyak orang lain sebelum APRI menyerbu. Otang bukan seorang gembong. Juga bukan pegawai negeri. Kalau Otang pulang kampung juga, hanyalah karena alasan khusus.”
Kata-kata yang menunjukkan indikasi masa PRRI adalah masa PRRI, dalam masa perang ilmu tidak ada gunanya. PRRI adalah singkatan dari Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, masa ini terjadi sekitar tahun 1958. PRRI ini merupakan salah satu gerakan pertentangan anatara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang terjadi di Padang, Sumatera Barat, Indonesia. Pada masa itu orang/kelompok kuatlah yang berkuasa. Seperti yang dijelaskan pada kutipan berikut.
“Tibalah masanya kampung Otang diduduki APRI. Oleh APRI disebut dibebaskan. Maka tiba pulalah masanya Otang harus bekerja memegang pacul. Yaitu bergotong-royong massal dan ronda malam di kecamatan. Di kala gotong-royong semua laki-laki berbaur. Apa orang tua, apa petani, apa guru, apa haji, apa datuk, apalagi orang semacam Otang. Bagi Otang, sekali mengayunkan pacul, melepuhlah telapak tangannya. Telapak tangan melepuh, tidak dapat dijadikan alas an istirahat dari bergotong-royong.”
Permasalahan masyarakat Minangkabau pada masa PRRI dibatasi pengarang pada masa pendudukan APRI dan sejumlah penindasan yang dilakukan buter pada masa itu. Selain itu di bagian akhir cerita juga dimasukkan sejumlah latar kota yaitu Jakarta. Namun hanya sedikit dimasukkan cerita di Jakarta. Di dalam cerpen ini diceritakan tentang persaudaraan orang Minangkabau di daerah rantau. Kota Jakarta dijadikan tempat untuk menenangkan diri dan melupakan semua kenangan buruk semasa di kampung. Oleh sebab itu, permasalahan cerpen ini berhubungan dengan luka batin dan kenangan buruk masa lalu yang diamati/ dialami pengarang.
Melalui latar tempat dan waktu dalam cerpen ini dapat disimpulkan untuk sementara bahwa cerpen Inyik Lunak Si Tukang Canang berbicara tentang kesengsaraan dan pergolakan batin yang dirasakan tokoh dan masyarakat pada masa PRRI. Perilaku tokoh cerpen dan kaitannya dengan data-data realitas objektif harus diselidiki untuk mendapatkan data-data sebgai bukti selanjutnya.
PENENTUAN PERAN DAN HUBUNGAN ANTAR PERAN
Sosok pribadi dalam masyarakat Minangkabau tidak hanya memerankan satu peran dalam kehidupannya. Sosok pribadi itu selalu memerankan peran ganda, misalnya di samping peran sebagai pemimpin, bisa juga berperan sebagai bawahan, kepala keluarga, tokoh masyarakat, suami atau istri, kemenakan, dan lain-lain. Karya sastra sebagai pencerminan tatanan kehidupan masyarakat, akan mengetengahkan berbagai peran yang diperankan tokoh cerita. Tidak ada dalam karya fiksi seorang tokoh cerita hanya memerankan satu peran saja. Pengarang akan memberikan berbagai peran terhadap tokoh-tokoh ceritanya.
Dalam cerpen “Inyik Lunak Si Tukang Canang”, seorang tokoh minimal memerankan satu tokoh. Tokoh Otang, misalnya, memerankan orang berpendidikan, teman si Dali, suami, ayah, datuk, menantu, tetangga yang baik, seolah sebagai dai bagi wanita-wanita tua di Jakarta yang kesepian dan tidak bisa keluar rumah. Demikian juga tokoh Dali yang berperan sebagai pemuda biasa, teman, suami, dan datuk. Tokoh Atun yang berperan sebagai istri, ibu dan sebagai anak. Tokoh Talib yang berperan sebagai buter. Inyik Lunak yang berperan sebagai pemukul canang. Kasdut yang berepran sebagai bupati, teman sekolah Otang.
Dengan demikian, sebuah peran dapat saja diperankan oleh beberapa tokoh sekaligus. Dalam hal penyelidikan permasalahan haruslah dilihat dari sudut peran dan bukan dari sudut tokoh. Permasalahan akan terlihat jika peran yang satu dihubungkan atau dikelompokkan menjadi (a) penjajah dan orang biasa, (b) suami dan istri, (c) mertua dan menantu, (d) teman dan teman.
Pengelompokkan hubungan peran-peran tersebut sekaligus dapat dipandang sebagai topik-topik yang dibicarakan pengarang dalam karyanya. Topik-topik ini membantu peneliti untuk menelusuri lebih jauh permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam karya sastra. Berdasarkan data-data hubungan peran di atas setidak-tidaknya sudah ada empat kandidat permasalahan yang disinggung pengarang dalam karyanya. Keempat kandidat permasalahan itu dapat dirumuskan melalui konfli-konflik tokoh yang memerankannya. Jika terdapat peran yang tidak didukung oleh konflik, hubungan peran itu tidak dapat dilanjutkan sebagai penanda adanya permasalahan.
Contohnya adalah topik (d) hubungan antar teman/sahabat yang awalnya tidak ada masalah. Hubungan teman ini antara Otang dan Dali. Pada saat PRRI mereka sama-sama pulang ke kampung halamannya. Mereka sama-sama bekerja dengan pengawasan APRI. Namun, pada saat Dali dan Otang bertemu setelah 25 tahun tidak bertemu, mereka tidak saling menyapa ataupun berbicara. Otang hanya duduk di belakang rumah dengan seorang nenek, sedangkan Dali berbincang-bincang dengan Kasdut. Dali tidak mengerti apa yang membuat Otang mneghindarinya, pikirannya pun kacau. Ia berpikir Otang tak mau bertemu dengannya karena Otang tidak mau teringat akan luka lama pada masa perang PRRI dulu. Atau juga kebenciannya kepada Inyik Lunak yang masih menggunakan canang. Permasalahan ini juga berkaitan dengan kemarahan Otang kepada buter yang menzinai Atun istrinya dulu (topik b).
Setelah mengikuti pola uji seperti di atas, tinggallah topik penjajah (APRI) dan orang biasa (topik a), mertua dan menantu (topik c), sebagai penyumbang permasalahan cerpen. Sementara itu, topik teman dan teman (d) tidak dapat dilanjutkan sebagai penyumbang permasalahan sebab topik tersebut tidak didukung oleh konflik tokoh yang mendukung peran. Namun demikian, topik itu masih berguna dalam menunjang penyelidikan. Topilk tersebut dapat dipandang sebagai latar tokoh atau pendukung peran.
Topik penjajah dan orang biasa (topik a) didukung oleh beberapa tokoh, seperti tokoh Talib sebagai komandan APRI di kecamatan itu berjabatan Bintara Urusan Teritorial, akronimnya buter; tokoh Inyik Lunak sebagai pemukul canang saat bergotong-royong; Otang yang hanya orang biasa yang harus rela gotong-royong dan ronda setiap harinya, ia juga harus rela istrinya dizinai oleh para buter, seperti Talib; selain itu masih banyak dari tokoh masyarakat lain yang bernasib sama dengannya.
Topik mertua dan menantu (topik b) hanya didukung oleh dua orang tokoh, yaitu tokoh mertua Otang (ibu Atun) dan Otang sebagai menantunya. Tokoh Atun juga termasuk di sini, namun tidak berpengaruh secara langsung terhadap topik ini. Atun tidak memiliki konflik dengan ibunya. Namun, Otang sebagai menantu merasa tidak berguna dan membenci mertuanya. Mertuanya hanya diam saja saat Atun diperkosa oleh buter APRI. Sempat terjadi pertengkaran antara Otang dan mertuanya mertuanya tidak bisa berbuat apa-apa karena ia takut pada buter itu.
Dari tiga topik yang di atas, ternyata topik penjajah dan orang biasa (topik a) yang didukung banyak tokoh. Dengan demikian, pada topik hubungan penjajah dan orang biasa inilah terletak permasalahan utama cerpen “Inyik Lunak Si Tukang Canang” sedangkan topik-topik lain merupakan permasalahan penunjang, persentuhan tokoh-tokoh cerpen ini harus ditempatkan sebagai pendukung permasalahan hubungan penjajah dan orang biasa.
PERMASALAHAN CERPEN SECARA NORMATIF
Dalam arti sosial di masyarakat awam penjajah adalah seorang yang melakukan penindasan terhadap masyarakat. Secara luas penjajah artinya adalah sekelompok orang yang menguasai daerah tertentu dan melakukan apa saja yang dia mau di daerah tersebut yang menyebabkan penderitaan rakyat baik secara lahir maupun batin. Setiap orang tidak ada yang mau dijajah. Penjajah diibaratkan seperti “Belanda meminta tanah, diberi semester dia meminta sehektare”.
Dari ketentuan itu jelaslah bahwa penjajah selalu ingin menguras semua yang dimilki oleh orang yang menjadi jajahannya.kebanyakan dari penjajah menyuruh masyarakat jajahannya untuk kerja paksa. Selain menguras tenaga para pemuda, para penjajah juga akan senang hati “menjajah” para wanita atau istri dari pemuda yang dipaksa bekerja tersebut. Antara penjajah dengan masyarakat biasa memang tidak pernah akur. Masyarakat baiasa hanya bisa pasrah dengan perlakuan dari penjajah. Mau melawanpun mereka tidak mempunyai kekuatan apapun. Kutu buku tidak akan berlaku pada saat suatu bangsa atau daerah dijajah. Orang yang hidupnya aman adalah orang baiasa berkhianat atau menjadi kaki tangan para penjajah.
Berdasarkan hal tersebut, masyarakat biasa hanya bisa pasrah dengan perlakuan para penjajah terhadap diri bahkan istri mereka. Jika mereka tidak kuat dengan penjajahan tersebut maka mereka memilih pergi dari daerah asalnya dan menenagkan diri ke tempat lain. Dia juga meninggalkan istrinya yang tak lagi setia padanya. Anak-anaknya juga ditinggalkannya.
PERMASALAHAN CERPEN SECARA FIKTIF
Dalam cerpen Inyik Lunak Si Tukang Canang tokoh lelaki Minangkabau yang berperan sebagai suami dan ayah adalah Otang. Ia berperan sebagai suami dalam hubungannya dengan tokoh Atun. Ia seorang ayah dalam hubungannya dengan kedua anaknya.
Namun impian akan keluarga yang harmonis bersama Atun hanya tinggal kenangan yang tak ingin diingatnya. Kejadian itu bermula saat kampungnya diduduki oleh APRI. APRI berjanji akan membebaskan masyarakat dari ancaman dan bayang-bayang PRRI. Namun yang terjadi pemaksaan melakukan gotong-royong dan ronda di kecamatan. Tidak ada pengecualian untuk hal tersebut. Hal itu terlihat pada kutipan berikut.
“Tiabalah masanya kampung Otang diduduki APRI. Oleh APRI disebut dibebaskan. Maka tiba pulalah masanya Otang harus bekerja memegang pacul. Yaitu bergotong-royong massal dan ronda malam di kecamatan. Di kala gotong-royong semua laki-laki berbaur. Apa orang tua, apa petani, apa guru, apa haji, apa datuk, apalagi orang semacam Otang. Bagi Otang, sekali mengayunkan pacul, melepuhlah telapak tangannya. Telapak tangan melepuh, tidak dapat dijadikan alasan istrahat dari bergotong-royong.”
Gotong –royong tersebut dilakukan hampir setiap hari. Pekerjaan itu diawasi oleh orang lain. Seruan tentang gotong-royong tersebut dilakukan oleh seseorang yang bernama Inyik Lunak. Seruan itu dilkukan dengan memukul cang keliling kampung.
“Lama-lama Buter Talib jarang mengawasi gotong-royong, namun perintah gotong-royong datang hampir saban hari melalui seruan Inyik Lunak dari jung ke ujung kampung, sambil memalu canang yang berbunyi “cer cer cer”. Karena pada paro bahagian canang itu sudah pecah. Dan suara Inyik Lunak itu pun serak seperti selaput suaranya juga pecah menyerukan gotong-royong itu”
Ulah Inyik Lunak yang memukul cang itu lama-lama membuat Otang membencinya. Otan dan semua orang mulai muak dengan gotong-royong yang dilakukan setian hari tersebut. Rasa benci Otang kepada Inyik Lunak semakin menjadi-jadi sampai ia tak mau barang memandang sedikitpun. Terlihat dari kutipan berikut.
“Gotong-royong hampir setiap hari itu sangat menjengkelkan Otang. Juga semua orang. Bukan karena kehilangan waktu untuk bekerja, juga merasa sengaja dihina sebagai orang taklukan sehingga setiap mendengar bunyi “cer cer cer” dari canang yang dipukul dan diringi suara pecah Inyik Lunak, itu pasti membawa berita buruk. Lama-lama berakibat pada ketidaksukaan Otang pada Inyik Lunak. Setiap berpapasan dengan Inyik Lunak di jalan, dia selalu melengos ke arah lain. Kalau lagi nongkrong di lepau Mak Mango di sudut pasar, lalu Inyik Lunak datang, dia buru-buru pergi. Sebaliknya jika Inyik Lunak sudah lebih dulu nongkrong, dia batal masuk lepau itu.”
Kemarahan Otang semakin menjadi-jadi karena selain memaksa semua laki-laki untuk bergotong-royong, Buter Talib juga melakukan hal yang menjijikkan etrhadap istri dari laki-laki yang bekerja tersebut. Tak terkecuali istri Otang. Buter Talib bersama seorang korlanya memperkosa istri-istri dari laki-laki tersebut saat mereka bergotong-royong. Bisa dilihat dari kutipan tersebut.
“Bahkan Otang kian mual pada Inyik Lunak setelah tahu, apa yang dilakukan Buter Talib ketika semua laki-laki bergotong-royong. Bersama salah seorang kopralnya dia masuk kampung keluar kampung menzinai istri-istri orang-orang PRRI yang terus bertahan di pedalaman. Sersan Jono juga berbuat yang sama. Camat Basri yang orang kampung itu sendiri pun sama dengan yang lain dan yang lainnya lagi. Pembantu Inspektur Polisi Hartono meniduri kedua anak gadis Sudira, sipir penjara. “Mau apa kita? Bilang apa kita?” itulah kata-kata yang keluar dari mulut penduduk negeri yang ditaklukkan itu.”
“Sengsara bukan karena bersimpati kepada PRRI, melainkan karena istrinya cantik. Atun yang semula jadi istri dibanggakan, kini menjadi ranjau darat yang membelah-belah jantungnya. Pada waktu penduduk diperintah gotong-royong, Buter Talib mampir ke rumah Atun. Malah Buter Talib konon pernah menginap ketika giliran Otang ronda malam.”
Pada awalnya Otang tidak tahu apa yang terjadi. Di sini terjadi konflik antara Otang dan mertuanya. Mertuanya tidak memberitahu apa yang terjadi terhadap Atun. Namun mereka berdua menampakkan wajah yang tidak dipahami Otang setiap ia pulang bergotong-royong. Inyik Lunaklah yang menghasut Otang hingga ia tahu semuanya. Ia bertengkar habis-habisan dengan Atun. Mertuanya malah membela diri. Pernyataan itu didukung oleh kutipan berikut.
“Awal-awalnya Otang tidak tahu apa yang terjadi. Mertuanya tidak memberi tahu. Atun pun tidak. Wajah keruh kedua perempuan itu setiap Otang pulang dari bergotong-royong tidaklah diapahami Otang. Pada mulanya memang begitu. Tapi ketika Inyik Lunak si tukang canang membisikkan agar Atun diantar ke kota, dia mulai membauni kasus yang sebenarnya. Otang mencak-mencak. Atun dicaci-maki karena tidak melawan perkosaan itu. Dia pun mengomeli ibu mertuanya yang bersekongkol.”
“”Otang, cobalah kau tempatkan dirimu sebagai si Atun, atau sebagai aku sendiri ketika bencana itu tiba. Apa mungkin kami melawan? Apa mestinya kami mengadu padamu, supaya si Talib yang berkuasa itu kau hajar?” kata ibu mertuanya setelah gelegak darah Otang mulai mereda.”
Dari gambaran beberapa kutipan cerpen di atas, terlihat bahwa terdapat permasalahan yang cukup pelik antara Otang dengan Buter Talib. Otang tidak terima dengan perlakuan Talib terhadap dirinya dan istrinya. Talib membuatnya harus bergotong-royong setiap harinya. Istri Otang juga diperkosa oleh Buter Talib. Di sini terjadi pergolakan batin di dalam diri Otang. Ia tidak suka istrinya diperlakukan dengan buruk namun ia juga tidak bisa melawan.
“Otang tidak terhibur. Setumpuk sesal menghimpit dirinya. Menyesal dia tidak ikut memanggul senjata melawan APRI. Kalau dia jadi tentara PRRI, pasti dia akan menembak APRIsemacam Buter Talib itu. Dua hal yang tidak mampu dia sesali. Pertama dia pulang kampung karena alasan solider pada Pak Natsir. Kedua karena Atun begitu cantiknya. Tapi membawa istri dan anaknya pulang kampung karena yakin PRRI akan menang perang, adalah salah perhitungan yang paling disesalinya.”
Selain itu, terdapat juga hubungan yang akrab antara penjajah dengan orang biasa. Hubungan itu antara Buter Talib dengan Inyik Lunak si tukang canang. Inyik lunak sebagai pemukul canang sebagai tanda gotong-royong segera dimulai. Dia bekerja kepada APRI dan dibenci oleh orang kampungnya.
Dengan demikian, ada dua tipe hubungan penjajah dengan orang biasa dalam cerpen “Inyik Lunak Si Tukang Canang” ini, yakni hubungan kebencian dan hubungan pengabdian (pengkhiantan menurut orang kampung). Tetapi, dapat pula ditegaskan hubungan kebencian mendapat tempat yang dominan di dalam cerpen ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar