Assalamualaikum rekan berbahasa! Pada kesempatan kali ini admin akan membahas tentang Analisis Sosiologis Cerpen SANG GURU JUKI Karya AA Navis. Dalam artikel kali ini ada beberapa hal yang akan dibahas secara mendalam yaitu, Penentuan Latar Cerpen, Penentuan Peran dan Hubungan Antar Peran, Permasalahan Cerpen Secara Normatif, Permasalahan Cerpen Secara Fiktif, Permasalahan Cerpen Secara Objektif, dan Interpretasi Data. Langsung saja simak bahasan di bawah ini! Selamat membaca!
PENENTUAN LATAR
Cerpen “Sang Guru Juki” mengungkapkan kehidupan masyarakat desa pada masa penjajahan, sebelum Indonesia merdeka. Ada beberapa petunjuk dari data-data struktur cerpen ini tentang hal itu, seperti kutipan berikut.
“Berpisah dengan anak dan istri di masa perang, untuk masa tiga empat bulan pertama, bukanlah masalah berat.”
“Apalagi di desa pengungsian Juki menumpang tinggal di rumah seorang muridnya.”
“Ketika Sitti mulai mengandung, desa itu diserbu dan diduduki musuh.”
Kata-kata yang menunjukkan masa penjajahan itu adalah di masa perang dan diserbu dan diduduki musuh sebab pada masa penjajahan sebelum Indonesia merdeka lah sebuah daerah/ desa dapat diduduki oleh musuh karena telah berhasil menjajah. Pada masa Indonesia dijajah memang setiap desa pengungsian lama-kelamaan akan diduduki oleh musuh/ penjajah apabila orang pribumi dan para pejuang bangsa dikalahkan oleh musuh.
Dengan penyebutan di masa perang dan diserbu dan diduduki musuh terlihatlah pengarang ingin mengungkapkan suatu permasalahan masyarakat Indonesia pada masa Indonesia dijajah.
Permasalah masyarakat Indonesia juga dibatasi pengarang terhadap masyarakat Indonesia yang tinggal di desa pengungsian. Indikasi itu terlihat dengan pengambilan latar desa sebagai tempat berlangsungnya peristiwa. Para penjajah akan terus menjajah hingga ke pelosok desa demi memperluas daerah jajahannya. Di dalam cerpen diungkapkan bahwa setelah mengungsi ke desa pengungsian yang baru, lama-kelamaanpun penjajah akan sampai di desa tempat pengungsian masyarakat yang ikut berjuang melawan penjajah sekalipun yang berasal dari kota. Dalam hal ini, desa pengungsian dilihat sebagai simbol perubahan sosial. Oleh sebab itu, permasalahan cerpen ini dapat saja berhubungan dengan pergeseran nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang awalnya tinggal di kota hingga harus tinggal di desa pengungsian yang diamati atau dialami pengarang.
Melalui latar tempat dan latar waktu dalam cerpen ini dapat disimpulkan untuk sementara bahwa cerpen Sang Guru Juki berbicara tentang perubahan sistem sosial budaya masyarakat Indonesia dari kota kemudian tinggal di desa pengungsian
PENENTUAN PERAN DAN HUBUNGAN ANTAR PERAN
Sosok pribadi dalam masyarakat Indonesia tidak hanya memerankan satu peran dalam kehidupannya. Sosok pribadi itu selalu memerankan peran ganda, misalnya di samping peran sebagai guru bisa juga berperan sebagai suami, ayah, teman, dan lain-lain. Karya sastra sebagai pencerminan tatanan kehidupan masyarakat, akan mengetengahkan berbagai peran yang diperankan tokoh cerita. Tidak ada dalam karya fiksi seorang tokoh cerita hanya memerankan satu peran saja. Pengarang akan memberikan berbagai peran terhadap tokoh-tokoh ceritanya.
Dalam cerpen “Sang Guru Juki”, seorang tokoh minimal memerankan dua peran. Tokoh-tokoh Juki, misalnya, memerankan peran guru, suami, ayah, teman, dan tahanan perang. Demikian juga dengan tokoh lainnya seperti Rosni memerankan peran istri dan ibu. Tokoh Sitti memerankan peran murid dan istri. Tokoh Oncon memerankan peran murid dan anak. Tokoh Baiyah memerankan peran ibu, janda, dan istri. Tokoh Dali memerankan peran teman Juki, pejuang, dan tahanan. Tokoh Ancok memerankan peran pemimpin dan teman.
Dengan demikian, sebuah peran dapat saja diperankan oleh beberapa tokoh sekaligus. Dalam hal penyelidikan permasalahan haruslah dilihat dari sudut peran dan bukan dari sudut tokoh. Permasalahan akan terlihat jika peran yang satu dihubungkan dengan peran yang lain. Beberapa peran yang diperankan tokoh-tokoh cerita tersebut dapat dihubungkan atau dikelompokkan menjadi (a) guru dan murid, (b) suami dan istri, (c) anak dan orang tua (ayah dan ibu), (d) teman dengan teman, (e) pemimpin dan anak buah.
Pengelompokan hubungan peran-peran tersebut sekaligus dapat dipandang sebagai topik-topik yang dibicarakan pengarang dalam karyanya. Topik-topik ini membantu peneliti untuk menelusuri lebih jauh permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam karya sastra. Berdasarkan data-data hubungan peran di atas, setidak-tidaknya sudah ada lima kandidat permasalahan yang disinggung pengarang dalam karyanya. Kelima kandidat permasalahan itu dapat dirumuskan melalui konflik-konflik tokoh yang memerankannya. Jika terdapat peran yang tidak didukung oleh konflik, hubungan peran itu tidak dapat dilanjutkan sebagai penanda adanya permasalahan.
Contohnya adalah topik (c) anak dan orang tua, yang tidak terdapat konflik antara kedua peran itu. Tidak ada konflik antara Juki dengan anaknya, dan juga tidak ada konflik antara Baiyah dengan Oncon anaknya. Begitu juga dengan tokoh Ancok yang tidak mempunyai konflik dengan anak buahnya. Konflik batin hanya muncul pada tokoh Dali yang mengetahui hubungan Juki dengan istri-istri dan anak-anaknya. Konflik batin Ancok itu dapat dipandang dalam posisinya sebagai seorang teman dan pejuang yang berasal dari desa. Oleh karena itu, dalam hal ini permasalahan kekeluargaan (topik c) tidak bisa dilanjutkan sebagai permasalahan yang harus dikonfirmasikan dengan konteks sosial. Permasalahan tersebut harus ditempatkan sebagai permasalahan yang mengetengahkan perbedaan perilaku laki-laki kampung dengan laki-laki kota.
Setelah mengikuti pola uji seperti di atas, tinggallah topik guru dan murid (topik a), topik suami dan istri (topik b), dan topik teman dengan teman (topik d). Sementara itu, topik anak dan orangtua (topik c) dan topik pemimpin dengan anak buah (topik e) tidak dapat dilanjutkan sebagai penyumbang permasalahan sebab topik-topik tersebut tidak didukung oleh konflik tokoh yang mendukung peran. Namun demikian, topik-topik tersebut masih berguna dalam menunjang penyelidikan. Topik-topik tersebut dapat dipandang sebagai latar tokoh atau pendukung peran.
Topik guru dan murid (topik a) didukung oleh beberapa tokoh, seperti tokoh Juki sebagai seorang guru yang berasal dari kota; tokoh Sitti sebagai seorang murid Juki, yang akhirnya menjadi istri Juki; tokoh Oncon sebagai seorang murid Juki, yang akhirnya menjadi anak tiri Juki.
Topik suami dan istri (topik b) juga didukung oleh beberapa tokoh, seperti tokoh Juki sebagai seorang suami; tokoh istri pertama Juki, yang ditinggalkan Juki ketika akan berperang; tokoh Sitti sebagai istri kedua Juki; dan tokoh Baiyah sebagai istri ketiga Juki.
Topik teman dan teman (topik d) juga didukung oleh beberapa tokoh, seperti tokoh Juki sebagai teman Dali, dan tokoh Mayor Ancok sebagai teman Dali.
Dari tiga topik di atas, ternyata topik suami dan istri (topik b) yang didukung banyak tokoh. Dengan demikian, pada topik hubungan suami dan istri inilah terletak permasalahan utama cerpen “Sang Guru Juki”, sedangkan topik-topik lain merupakan permasalahan penunjang, persentuhan tokoh-tokoh cerpen ini harus ditempatkan sebagai pendukung permasalahan hubungan suami dan istri.
PERMASALAHAN CERPEN SECARA NORMATIF
Dalam sistem budaya masyarakat Indonesia, suami adalah laki-laki yang bertanggung jawab dan berkewajiban untuk menafkahi keluarganya (istri dan anak). Dalam arti luas, suami adalah semua laki-laki yang telah menjadi kepala keluarga dan menafkahi keluarganya. Istri adalah perempuan yang telah menikah. Secara luas, istri adalah semua perempuan yang telah menikah.
Antara suami – istri memikul tanggung jawab dalam menegakkan rumah tangga yang merupakan bagian dari struktur masyarakat. Suami – istri mempunyai kedudukan yang seimbang dan berhak melakukan perbuatan hukum, dan suami berperan sebagai kepala keluarga, dan istri berperan sebagai ibu rumah tangga. Sebagai suami – istri, keduanya harus saling mencintai dan saling membantu lahir dan batin. Tugas suami memberi nafkah kepada keluarga dan istri bertugas mengurus rumah tangga. Hubungan suami istri terdapat dalam Al-Quran yang artinya sebagai berikut.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.S Al-Nisa (4): 34).
Dari ayat di atas, dijelaskan bahwa kewajiban seorang istri yang saleha harus taat kepada Allah, memelihara kehormatannya sebagai perempuan terutama saat suami tidak berada di sisinya, serta menghormati suami.
Kewajiban suami sebagai kepala keluarga harus bisa menafkahi keluarganya. Namun tidak hanya itu, suami juga harus bisa membimbing istri dan anak-anaknya, melindungi dan memberikan pendidikan kepada keluarganya. Sedangkan kewajiban istri sebagai ibu rumah tangga, harus bisa mengurus rumah tangganya dengan baik, serta berbakti kepada suami lahir dan batin.
Seorang laki-laki di Indonesia merupakan sosok pribadi dwifungsi, yaitu di satu sisi ia adalah kepala keluarga dari istri dan anak-anaknya. Sedangkan di pihak lain ia adalah anak dari orang tuanya. Seorang laki-laki di Indonesia harus memperhatikan dan menyayangi istri, anak, dan orang tuanya, tanpa harus memihak kepada istri dan anak saja, atau orang tua saja.
Demikianlah pengaturan hubungan suami dan istri menurut sistem sosial budaya masyarakat Indonesia. Antara suami dan istri terdapat hubungan yang harmonis, tanpa harus merusak hubungan anak dan orang tuanya.
PERMASALAHAN CERPEN SECARA FIKTIF
Dalam cerpen “Sang Guru Juki” tokoh laki-laki Indonesia yang berperan sebagai suami dan sebagai ayah. Juki berperan sebagai suami dalam hubungannya dengan tokoh Sitti dan Baiyah. Ia seorang ayah dalam hubungannya dengan anak-anaknya. Pertemuan Juki dengan Sitti menghadirkan dilema hubungan suami dan istri, serta hubungan guru dan murid.
Juki merupakan profil tokoh seorang guru yang berasal dari kota, yang pada masa peperangan ia ikut berperang dan mengungsi di desa pengungsian. Sementara Sitti merupakan sosok murid Juki yang tinggal di desa pengungsian tempat Juki mengungsi. Ketika Juki sampai di desa pengungsian, Juki menumpang tinggal di rumah seorang muridnya yang bernama Sitti. Sitti menerimanya dengan segala rasa bangga dan hormat seorang murid kepada gurunya yang ikut berjuang dalam perang, seperti terdapat pada kutipan berikut.
“Apalagi di desa pengungsian Juki menumpang tinggal di rumah seorang muridnya. Murid perempuan yang menerimanya dengan segala rasa bangga dan hormat seorang murid kepada guru. Apalagi kepada guru yang ikut berjuang.”
Oleh karena itu, tinggallah Juki di rumah murid perempuannya yang bernama Sitti selama perang berlangsug.
Setelah menunggu lama, tanda-tanda perang akan berakhir pun tak kunjung tampak. Dengan rasa malu dan sungkan atas pelayanan yang ramah dari muridnya tersebut, Juki memutuskan untuk menikahi Sitti, seperti terdapat pada kutipan berikut.
“Tapi setelah empat bulan masa berlalu, tanda-tanda perang akan cepat berakhir tidak terlihat, batinnya pecah berantakan. Dalam sepotong hatinya ada rasa malu karena dilayani demikian ramah, tanpa perlu memberi apa pun. Dalam sepotong hati sisanya, Sitti, murid yang penuh perhatian mengurus kepentingannya terasa sebagai seorang wanita. Juki tergoda. Sitti dipeluk dan diciumnya. Mulanya pada pipi. Lalu seterusnya pada bibir. Dan kemudian mereka kawin. Maka lupalah Juki pada anak dan istrinya yang di kota.”
Juki pun mulai melupakan istri dan anaknya di kota. Namun, saat Sitti mengandung, desa tersebut diduduki musuh sehingga Juki melarikan diri dan meninggalkan Sitti, seperti pada kutipan berikut.
“Ketika Sitti mulai mengandung, desa itu diserbu dan diduduki musuh. Juki yang semula jadi guru, kemudian ikut-ikut aktif menjadi pejuang, tidak bisa lain selain harus mengungsi lagi ke pedalaman yang lebih dalam.”
Setelah pengungsian keduanya, Juki tinggal di rumah murid laki-lakinya yang mempunyai ibu seorang janda, seperti pada kutipan berikut.
“Di desa pengungsian kedua, Juki diajak tinggal di rumah seorang muridnya yang laki-laki. Oncon nama panggilannya. Dia pikir, dia akan aman. Akan tetapi, ibu Oncon, Bedah, sudah lama menjanda dan usianya hanya dua tiga tahun lebih tua dari Juki.”
Juki pun menikahi Ibu Oncon, Baiyah. Setelah menikah, Juki sangat dimanjakan oleh Baiyah, seperti pada kutipan berikut.
“Kawin dengan perempuan yang sudah lama menjanda, Juki dimanjakan benar. Dia dibelikan dua stel pakaian dan piyama yang berbeda warnanya. Sepasang sandal kulit model kepala buaya serta sarung pelikat dan baju gaya Betawi yang berterawang. Semua serba baru.”
Juki tidak pernah memikirkan nasib istri-istrinya, karena ia berpikiran bahwa wanita bisa memenuhi kehidupannya sendiri tanpa perlu dinafkahi oleh suaminya, seperti pada kutipan berikut.
“Kau pikir hidup perempuan-perempuan desa itu tergantung pada suaminya? Mereka perempuan yang mandiri. Mereka punya rumah, punya tanah, punya ladang untuk menjamin hidupnya.”
Setelah semua kebaikan yang diberikan Baiyah, Juki justru membalasnya dengan jahat. Dia mengorbankan istrinya demi kebebasannya, seperti pada kutipan berikut.
“Dia? Si Juki itu? Apa yang penting baginya selain dari dirinya sendiri? Istrinya bisa dia berikan pada orang asal dia bebas dari tahanan, “ kata Marwan dengan sinis.”
Bagi seorang Juki yang sering sekali kawin, perkawinan bukanlah hal yang benar-benar serius baginya. Ia hanya menganggap perkawinan seperti bermain-main saja tidak perlu terlalu serius, seperti pada kutipan berikut.
“Kalau habis untung perkawinan, ya bubar. Tak usah dipikirkan amat.”
Dengan demikan, ada dua tipe hubungan suami dan istri dalam cerpen “Sang Guru Juki”, yakni hubungan yang harmonis dan hubungan yang tidak harmonis. Tetapi, dapat pula ditegaskan bahwa hubungan yang tidak harmonis mendapat tempat yang dominan dalam cerpen ini.
PERMASALAHAN CERPEN SECARA OBJEKTIF
Untuk mendapatkan data-data objektif perlu dilakukan observasi lapangan terhadap perilaku sosial masyarakat Minangkabau tersebut. Untuk kepentingan ini telah dilakukan observasi dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dewasa ini. Hasil observasi langsung yang dilakukan menyatakan bahwa hubungan suami istri yang tidak harmonis lebih dominan dalam masyarakat Minangkabau dibanding dengan hubungan harmonis suami istri, maupun hubungan yang biasa-biasa saja antara suami dengan istri.
Data-data itu menunjukkan bahwa keadaan hubungan suami dan istri dewasa ini berlangsung kurang harmonis. Walaupun kenyataan menunjukkan demikian, dalam sanubari setiap pribadi anggota masyarakat Minangkabau terutama yang telah atau pernah berstatus sebagai suami dan istri masih tersimpan suati ide keharmonisan dalam menjalani hubungan rumah tangga, baik ditinjau dari sudut istri maupun dari sudut suami.
Penyebab terputusnya hubungan suami istri atau yang lazim disebut perceraian itu ada tiga alasan, yaitu (1) kurangnya rasa percaya dan tidak saling terbuka antara suami dengan istri, (2) adanya orang ketiga yang membuat hubungan suami istri jadi berantakan dan tak jarang berujung pada perceraian, dan (3) adanya suami yang hakikatnya sebagai kepala keluarga tetapi tidak menafkahi keluarganya dan bersikap tak mau tau tentang kelanjutan hidup istri dan anak-anaknya.
Dari observasi yang dilakukan dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau didapat tiga hal yang dapat mempertahankan hubungan harmonis suami – istri dalam sebuah pernikahan, yaitu (1) saling menjaga kepercayaan dan bersifat saling terbuka, (2) suami sebagai kepala rumah tangga wajib menafkahi keluarganya, dan (3) seorang istri harus taat kepada Tuhan dan menghormati suaminya.
INTERPRETASI DATA
Sebuah karya sastra dapat dipandang sebagai jembatan dunia normatif dengan dunia objektif. Karya sastra harus menggambarkan idealisme masyarakat, sekaligus mengungkapkan gambaran realitas sosial masyarakatnya. Cerpen “Sang Guru Juki” ditinjau dari kacamata ini, memenuhi kriteria itu. Idealisme masyarakat Minangkabau tentang hubungan suami dan istri harus berlangsung secara harmonis, ada keseimbangan hak dan kewajiban, keseimbangan tugas dan tanggung jawan antara suami dan istri. Pencerminan idealisme masyarakat Minangkabau ini dapat ditemukan dalam cerpen “Sang Guru Juki” walaupun hubungan harmonisnya hanya berlangsung sebentar yang terlihat melalui hubungan suami dan istri, yaitu Juki sebagai suami dan Baiyah sebagai istri ketiga Juki. Namun, keharmonisan antara suami dan istri dalam cerpen ini tidaklah mendominasi penceritaan. Dominasi penceritaan menyangkut ketidakharmonisan hubungan suami dan istri melalui tokoh Juki dan Baiyah saat desa tempat mereka tinggal diduduki oleh musuh dan Juki menjadi tahanan. Sungguhpun begitu ternyata ketidakharmonisan hubungan suami dan istri ini berkaitan dengan realitas objektif.
SIMPULAN
Berdasarkan data-data yang didapat dari hasli observasi dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau dewasa ini, dapat disimpulkan bahwa tingkat kerelevanan antara cerpen “Sang Guru Juki” dengan realitas sosial budaya masyarakat Minangkabau amat tinggi, baik secara idealisme maupun secara realitas objektif. Simpulan ini mengarahkan rekomendasi penilaian bahwa cerpen “Sang Guru Juki” merupakan cerpen yang berhasil mengungkapkan realitas sosial masyarakat Minangkabau saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar